Monday, 16 January 2012

seulawah dalam bahasa aceh berarti gunung emas

Suatu renungan mengenai seorang pilot dan pesawatnya



Nama Seulawah dalam bahasa Aceh berarti „Gunung Emas“, nama gunung berapi yang terkenal di daerah Aceh di Sumatera. Berkenaan dengan  Dakota RI-001arti „Gunung Emas“ sangatlah tepat. Pada tahun 1948 Republik Indonesia yang masih muda sedang berjuang  mati-matian utk menghindari restaurasi  penjajahan kolonial Belanda. Di jaman yang begitu sulit, Presiden Sukarno berkunjung ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Ibukota  Aceh, untuk minta bantuan rakyat Aceh agar dapat  membeli suatu pesawat terbang utk kepentingan pemerintahan guna mempererat hubungan antar daerah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Permintaan itu langsung  dikabulkan oleh pengemuka Aceh dan kemudian dikumpulkanlah suatu „Gunung emas“ beratnya 20 kg sebagai sumbangan  rakyat Aceh demi perjuangan Republik Indonesia. Nilai „Gunung emas“ – „Seulawah“ pada saat itu berkisar sekitar 120.000 Dollar Malaya.
Dengan emas, hadiah dari rakyat Aceh, itu pada bulan Oktober 1948 telah dibelikan di Singapura satu pesawat terbang merek  DC 3 „Dakota“ (C 47) yang terus bertugas untuk penerbangan antara Maguwo (Jogyakarta) dan Kutaraja(Aceh). Penerbangan yang bersejarah terjadi di bulan Nopember 1948 sewaktu Wapres Dr. M. Hatta berkunjung  di seluruh daerah-daerah Republik Indonesia  di Sumatra demi memperkokoh semangat nasional pembela-pembela kemerdekaan Republik Indonesia yang bertahan melawan serangan Belanda.
Tidak lama sesudah itu, tgl 6 Desember 1948, pesawat Seulawah terbang ke Kalkutta di India untuk rawatan teknis spesial yang  masa itu hanya dapat dilaksanakan di Kalkutta. Tetapi dimana pesawat sedang dalam perawatan, terjadilah peristiwa dramatis yg menghidari pulangnya pesawat tsb secara langsung ke Indonesia. Tgl 18 Desember 1948 pasukan Belanda dengan tiba-tiba   masuk wilayah Republik,  menyerang juga  kota Jogyakarta, menangkap Presiden Sukarno dan anggota pemerintahnya dan diasingkan ke pulau Bangka. Bandara induk Seulawah, Maguwo Jogyakarta, telah jatuh di tangan tentera Belanda,  Seulawah tidak bisa pulang!
Dalam situasi ini pimpinan AURI memutuskan untuk menerima usul pemerintah Burma, bahwa tempat pesawat Seulawah dapat dipindahkan dari Kalkutta ke bandara di Rangoon, ibukota  Burma. Tgl 20-Januari- 1949 Seulawah terbang kesana dan terdaftar dengan nomor registrasi RI-001 Seulawah sebagai pesawat pertama Indonesian Airways, perusahaan penerbangan sipil  Republik Indonesia. Dua tahun berikutnya pesawat itu dicharter pemerintah Burma sebagai carrier militer. Dari usaha tsb telah menghasilkan uang begitu banyak, sehingga Indonesia dapat membeli lagi dua buah pesawat  DC 3 yang terdaftar sebagai RI-007 dan RI-009. Pada akhir tahun 1949 Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesian Airways. Sejarah ini dapat dibaca lebih mendetail di Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia#Sejarah
Captain Carl Wiss „Flying the Hump“
Sekarang kita harus kembali mengingat Om Carl. Andaikata informasi yg kami dapat dari Mr. Jos Heyman bisa dipercaya, lihat situs http://www.cnac.org/wiss01.htm,  yang mengungkapkan berdasarkan arsip  AURI, bahwa salah satu pilot Seulawah adalah seorang Amerika yang bernama Carl Wiss. Dan dia tsb bisa diidentifikasikan sebagai anak paman kami. Dahulu kala nenek kami, Ibu Emily,  pernah menceritakan kepada kami, bahwa cucunya Carl di perang dunia kedua telah bertugas sebagai pilot angkatan udara Amerika (USAF) di China dan mengalami kecelakaan di matanya yg menyebabkan dia tidak diperbolehkan membawakan  pesawat terbang lagi. Informasi dari Ibu Emily mengenai riwayat hidup Om Carl sebenarnya kurang lengkap, lengkapnya baru terbuka setelah ditemukan oleh adik kami Thomas situs CNAC-ORG diatas.
Disitu dapat dilihat suatu foto  Carl Wiss di tahun 1944(?). Nampak  Om Carl dengan temannya Tommy Wong di sesuatu tempat di India  atau China. Keduanya adalah pilot dari CNAC (China National Aviation Corporation), sesuatu usaha penerbangan joint venture  USA (PanAm) dan China National (NC). Saat itu National China dibawah pimpinan Jenderal Chiang Kai Chek berperang  melawan Jepang sejak tahun 1937. NC dibantu USA berupa uang dan alat-alat perang. (http://www.cnac.org/index.html )
Sejak tahun 1942 Burma-Utara telah diserang oleh tentara Jepang – hubungan darat antara India dan China Selatan terputus  dan bantuan USA untuk tentara China National hanya bisa dilaksanakn lewat udara. Bandara Udara CNAC  untuk pesawat Type DC3 (C 46) bertempat di Assam/ India Utara dan para pilotnya harus membawakan pesawantnya dengan penerbangan yg sangat berbahaya lewat pegunungan raksasa Himalaya yang juga dinamakan „Atap bumi“ ke kota Kunming di China Selatan. Route penerbangan ini , juga disebut „The Hump“,  menuntut  para pilot suatu keberanian dan kepandaian yang luarbiasa dalam bidang penerbangan.  Ratusan crew  untuk itu telah kehilangan hidupnya dalam melaksanakan tugasnya. Memang mereka semua sukarelawan – kebanyakan pilot-pilot tamatan USAF – yang  tentu gajinya cukup tinggi  yg membuat mereka tidak jeri dengan risiko yang luarbiasa tersebut.
Om Carl termasuk di golongan ini sejak tahun 1944. Sesudah Jepang kapitulasi di bulan Agustus 1945 dan berakhirnya perang dunia ke2, Om Carl melanjutkan kontraknya di CNAC selama dua setengah tahun lagi. Sekarang operasinya di daerah China, dimana tentara National China berperang melawan Tentara komunis  Mao Tse Dong . Di awal tahun 1948 sudah banyaklah propinsi yang telah jatuh di tangan pasukan komunis. Kota Mukden – sekarang namanya Shenyang – di propinsi Manju telah lengkap dikepung oleh Tentara Merah. Ribuan orang  kaya minta diterbangkan keluar dari kota yg terkepung tsb ke Taiwan. Pada tgl 20-Januari-1948 di salah satu dari „Last minute flights“, beberapa menit sesudah start, pesawat DC 3- C46 dengan pilotnya Carl Wiss mengalami kecelakaan  berat. (http://www.cnac.org/wiss01.htm)
Catatan surat kabar New York Times  tgl 21-01-1948 memberitakan tentang kematian tiga penumpang dan banyak yang luka-luka, diantaranya seorang pilot Amerika bernama Carl Wiss yang luka di kepala dan mata. Sebab kecelakaan tidaklah jelas, hanya diketahui bahwa pesawat melakukan start dalam cuaca yang sangat buruk, saat itu turun angin salju dan pesawat membawa muatan yang melebihi batas kemampuan. Informasi ini sesuai dengan ceritera nenek kami Almarhumah Ibu Emily dahulu, yang disebutkan dalam  surat adiknya dari Amerika, bahwa alasan kelebihan muatan waktu itu disebabkan penumpang2 kaya membawa  hartabendanya berupa emas dan perhiasan secara tersembunyi dalam pakaian tebalnya, sehingga terjadilah kecelakaan. Di surat-surat kabar tidak ada pemberitaan mengenai alasan kecelakaan tsb.
Biar bagaimanapun, Om Carl bisa lepas selamat dari kecelakaan itu walau dalam keadaan luka2 tetapi kehilangan pekerjaannya di CNAC. Bagaimana kelanjutannya, apakah lukanya terawat dan dimana keberadaannya selama tahun 1948 tidaklah diketahui. Tetapi jika informasi dari Mr. Jos Heyman benar, awal 1949 Captain Carl Wiss telah bekerja kembali sebagai pilot Indonesian Airways di cockpit  pesawat  „Dakota Ri-001 Seulawah“.  Bandara induknya masih tetap Rangoon. Tugas pesawat waktu itu adalah penerbangan-charter di Burma dan mengangkut diantaranya bahan-bahan bantuan perjuangan revolusi ke Sumatera. Berapa lama kontrak Om Carl dengan Indonesian Airways berlangsung tidaklah juga diketahui – mungkin sampai tahun 1950, dimana Garuda mulai berdiri atas  usaha bersama Indonesian Airways dengan KLM- Belanda. Pilot-pilot ex-CNAC tersebut diperlukan karena waktu itu personil Indonesia belum ada yang memiliki izin utk menerbangkan pesawat setype DC-3. Teman-teman Om Carl, termasuk beliau sendiri, semuanya telah meninggal dunia dan kesaksiannya mengenai perjuangan kemerdekaan masa lalu tidaklah dapat ditanya lagi.
Pesawat Seulawah sebagai Monumen Sejarah
Seandainya bisa ditanyakan kepada  rakyat Aceh, mungkin dapat diketahui, apakah pesawat DC 3 yang dinampakkan sebagai monumen nasional di Banda Aceh sekarang ini, benar-benar pesawat Seulawah asli, atau pesawat DC 3 lain , yang dihadiahkan oleh AURI tahun 1984. Di Indonesia tahun 2011 ini ada dua pesawat yang bernama Seulawah – satu di Banda Aceh(lihat foto) dan yang kedua di Taman Mini Jakarta.
Untuk rakyat Aceh nama Seulawah bukan hal sampingan, melainkan  suatu simbol penting dan bukti  pengorbanan rakyat Aceh untuk kemerdekaan Indonesia, yang begitu lama menunjukkan kesetiaannya terhadap persatuan nasional. Para pemuka  Aceh sampai sekarang masih ingat akan janji Sukarno bulan juni 1948 dulu, dimana Sukarno telah menyetujui akan pengesahan syariat Islam untuk Aceh, janji  yang dikemudian hari dilupakannya.
„Khianat Sukarno“ itu yang memungkiri jasa rakyat Aceh dalam perjuangan kemerdekaan nasional melawan serangan Belanda, apa lagi dengan tidak diakuinya  status  Aceh sebagai propinsi ditahun 1953 itu yang kemudian menjadi latar belakang  keinginan gerakan separatis  di Aceh yang kemudian mengakibatkan berdirinya gerakan kemerdekaan  GAM ditahun 1967, perang saudara yg berdarah ini baru dapat berakhir paska Tsunami tahun 2005.  Selain itu memang banyak  alasan-alasan yang penting dan nyata: Pemerintah pusat Jakarta telah menyatakan  daerah Aceh yang  kaya menjadi daerah miskin, masyarakat Aceh merasa dihina dan dilukai perasaannya sehingga mendorong putera-putera Aceh untuk berontak.
Sekarang ini Aceh NAD sebagai propinsi Republik Indonesia yg memiliki  otonomi istimewa , sampai hari ini  masih menderita akibat musibah tsunami 2004. Bantuan internasional yang besar  telah membuat  Aceh yang terisolir, akibat perang saudara, kembali terbuka untuk dunia luar. Tetapi untuk melakukan kedaulatan otonominya,  Aceh menetapkan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku di daerahnya. Teriring oleh harapan besar untuk kemajuan moril, syariat menimbulkan dimasyarakat dalam kehidupan sehari-hari  masalah2  yang tidak terduga. Tetapi hal-hal seperti itu Seulawah dan Om Carl tak perlu memikirkan lagi – Alhamdulillah!
K.S. 20-01-2011
dalam bahasa Jerman dapat dibaca disini.

No comments:

Post a Comment