Suatu renungan mengenai seorang pilot dan pesawatnya
Nama Seulawah dalam bahasa Aceh berarti „Gunung Emas“, nama gunung berapi yang terkenal di daerah Aceh di Sumatera. Berkenaan dengan Dakota RI-001arti
„Gunung Emas“ sangatlah tepat. Pada tahun 1948 Republik Indonesia yang
masih muda sedang berjuang mati-matian utk menghindari restaurasi
penjajahan kolonial Belanda. Di jaman yang begitu sulit, Presiden
Sukarno berkunjung ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Ibukota Aceh,
untuk minta bantuan rakyat Aceh agar dapat membeli suatu pesawat
terbang utk kepentingan pemerintahan guna mempererat hubungan antar
daerah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Permintaan itu langsung
dikabulkan oleh pengemuka Aceh dan kemudian dikumpulkanlah suatu
„Gunung emas“ beratnya 20 kg sebagai sumbangan rakyat Aceh demi
perjuangan Republik Indonesia. Nilai „Gunung emas“ – „Seulawah“ pada saat itu berkisar sekitar 120.000 Dollar Malaya.
Dengan emas, hadiah dari rakyat Aceh, itu
pada bulan Oktober 1948 telah dibelikan di Singapura satu pesawat
terbang merek DC 3 „Dakota“ (C 47) yang terus bertugas untuk
penerbangan antara Maguwo (Jogyakarta) dan Kutaraja(Aceh). Penerbangan
yang bersejarah terjadi di bulan Nopember 1948 sewaktu Wapres Dr. M.
Hatta berkunjung di seluruh daerah-daerah Republik Indonesia di
Sumatra demi memperkokoh semangat nasional pembela-pembela kemerdekaan
Republik Indonesia yang bertahan melawan serangan Belanda.
Tidak lama sesudah itu, tgl 6 Desember
1948, pesawat Seulawah terbang ke Kalkutta di India untuk rawatan teknis
spesial yang masa itu hanya dapat dilaksanakan di Kalkutta. Tetapi
dimana pesawat sedang dalam perawatan, terjadilah peristiwa dramatis yg
menghidari pulangnya pesawat tsb secara langsung ke Indonesia. Tgl 18
Desember 1948 pasukan Belanda dengan tiba-tiba masuk wilayah Republik,
menyerang juga kota Jogyakarta, menangkap Presiden Sukarno dan
anggota pemerintahnya dan diasingkan ke pulau Bangka. Bandara induk
Seulawah, Maguwo Jogyakarta, telah jatuh di tangan tentera Belanda, Seulawah tidak bisa pulang!
Dalam situasi ini pimpinan AURI
memutuskan untuk menerima usul pemerintah Burma, bahwa tempat pesawat
Seulawah dapat dipindahkan dari Kalkutta ke bandara di Rangoon, ibukota
Burma. Tgl 20-Januari- 1949 Seulawah terbang kesana dan terdaftar dengan nomor registrasi RI-001 Seulawah sebagai pesawat pertama Indonesian Airways,
perusahaan penerbangan sipil Republik Indonesia. Dua tahun berikutnya
pesawat itu dicharter pemerintah Burma sebagai carrier militer. Dari
usaha tsb telah menghasilkan uang begitu banyak, sehingga Indonesia
dapat membeli lagi dua buah pesawat DC 3 yang terdaftar sebagai RI-007
dan RI-009. Pada akhir tahun 1949 Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesian Airways. Sejarah ini dapat dibaca lebih mendetail di Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia#Sejarah
Captain Carl Wiss „Flying the Hump“
Sekarang kita harus kembali mengingat Om
Carl. Andaikata informasi yg kami dapat dari Mr. Jos Heyman bisa
dipercaya, lihat situs http://www.cnac.org/wiss01.htm,
yang mengungkapkan berdasarkan arsip AURI, bahwa salah satu pilot
Seulawah adalah seorang Amerika yang bernama Carl Wiss. Dan dia tsb bisa
diidentifikasikan sebagai anak paman kami. Dahulu kala nenek kami, Ibu
Emily, pernah menceritakan kepada kami, bahwa cucunya Carl di perang
dunia kedua telah bertugas sebagai pilot angkatan udara Amerika (USAF)
di China dan mengalami kecelakaan di matanya yg menyebabkan dia tidak
diperbolehkan membawakan pesawat terbang lagi. Informasi dari Ibu Emily
mengenai riwayat hidup Om Carl sebenarnya kurang lengkap, lengkapnya
baru terbuka setelah ditemukan oleh adik kami Thomas situs CNAC-ORG
diatas.
Disitu dapat dilihat suatu foto Carl Wiss di tahun 1944(?).
Nampak Om Carl dengan temannya Tommy Wong di sesuatu tempat di India
atau China. Keduanya adalah pilot dari CNAC (China National Aviation
Corporation), sesuatu usaha penerbangan joint venture USA (PanAm) dan
China National (NC). Saat itu National China dibawah pimpinan Jenderal
Chiang Kai Chek berperang melawan Jepang sejak tahun 1937. NC dibantu
USA berupa uang dan alat-alat perang. (http://www.cnac.org/index.html )
Sejak tahun 1942 Burma-Utara telah
diserang oleh tentara Jepang – hubungan darat antara India dan China
Selatan terputus dan bantuan USA untuk tentara China National hanya
bisa dilaksanakn lewat udara. Bandara Udara CNAC untuk pesawat Type DC3
(C 46) bertempat di Assam/ India Utara dan para pilotnya harus
membawakan pesawantnya dengan penerbangan yg sangat berbahaya lewat
pegunungan raksasa Himalaya yang juga dinamakan „Atap bumi“ ke kota
Kunming di China Selatan. Route penerbangan ini , juga disebut „The
Hump“, menuntut para pilot suatu keberanian dan kepandaian yang
luarbiasa dalam bidang penerbangan. Ratusan crew untuk itu telah
kehilangan hidupnya dalam melaksanakan tugasnya. Memang mereka semua
sukarelawan – kebanyakan pilot-pilot tamatan USAF – yang tentu gajinya
cukup tinggi yg membuat mereka tidak jeri dengan risiko yang luarbiasa
tersebut.
Om Carl termasuk di golongan ini sejak
tahun 1944. Sesudah Jepang kapitulasi di bulan Agustus 1945 dan
berakhirnya perang dunia ke2, Om Carl melanjutkan kontraknya di CNAC
selama dua setengah tahun lagi. Sekarang operasinya di daerah China,
dimana tentara National China berperang melawan Tentara komunis Mao Tse
Dong . Di awal tahun 1948 sudah banyaklah propinsi yang telah jatuh di
tangan pasukan komunis. Kota Mukden – sekarang namanya Shenyang – di
propinsi Manju telah lengkap dikepung oleh Tentara Merah. Ribuan orang
kaya minta diterbangkan keluar dari kota yg terkepung tsb ke Taiwan.
Pada tgl 20-Januari-1948 di salah satu dari „Last minute flights“,
beberapa menit sesudah start, pesawat DC 3- C46 dengan pilotnya Carl
Wiss mengalami kecelakaan berat. (http://www.cnac.org/wiss01.htm)
Catatan
surat kabar New York Times tgl 21-01-1948 memberitakan tentang
kematian tiga penumpang dan banyak yang luka-luka, diantaranya seorang
pilot Amerika bernama Carl Wiss yang luka di kepala dan mata. Sebab
kecelakaan tidaklah jelas, hanya diketahui bahwa pesawat melakukan start
dalam cuaca yang sangat buruk, saat itu turun angin salju dan pesawat
membawa muatan yang melebihi batas kemampuan. Informasi ini sesuai
dengan ceritera nenek kami Almarhumah Ibu Emily dahulu, yang disebutkan
dalam surat adiknya dari Amerika, bahwa alasan kelebihan muatan waktu
itu disebabkan penumpang2 kaya membawa hartabendanya berupa emas dan
perhiasan secara tersembunyi dalam pakaian tebalnya, sehingga terjadilah
kecelakaan. Di surat-surat kabar tidak ada pemberitaan mengenai alasan
kecelakaan tsb.
Biar bagaimanapun, Om Carl bisa lepas
selamat dari kecelakaan itu walau dalam keadaan luka2 tetapi kehilangan
pekerjaannya di CNAC. Bagaimana kelanjutannya, apakah lukanya terawat
dan dimana keberadaannya selama tahun 1948 tidaklah diketahui. Tetapi
jika informasi dari Mr. Jos Heyman benar, awal 1949 Captain Carl Wiss
telah bekerja kembali sebagai pilot Indonesian Airways di cockpit pesawat „Dakota Ri-001 Seulawah“.
Bandara induknya masih tetap Rangoon. Tugas pesawat waktu itu adalah
penerbangan-charter di Burma dan mengangkut diantaranya bahan-bahan
bantuan perjuangan revolusi ke Sumatera. Berapa lama kontrak Om Carl
dengan Indonesian Airways berlangsung tidaklah juga diketahui – mungkin sampai tahun 1950, dimana Garuda mulai berdiri atas usaha bersama Indonesian Airways dengan KLM-
Belanda. Pilot-pilot ex-CNAC tersebut diperlukan karena waktu itu
personil Indonesia belum ada yang memiliki izin utk menerbangkan pesawat
setype DC-3. Teman-teman Om Carl, termasuk beliau sendiri, semuanya
telah meninggal dunia dan kesaksiannya mengenai perjuangan kemerdekaan
masa lalu tidaklah dapat ditanya lagi.
Pesawat Seulawah sebagai Monumen Sejarah
Seandainya
bisa ditanyakan kepada rakyat Aceh, mungkin dapat diketahui,
apakah pesawat DC 3 yang dinampakkan sebagai monumen nasional di Banda
Aceh sekarang ini, benar-benar pesawat Seulawah asli, atau pesawat DC 3 lain , yang dihadiahkan oleh AURI tahun 1984. Di Indonesia tahun 2011 ini ada dua pesawat yang bernama Seulawah – satu di Banda Aceh(lihat foto) dan yang kedua di Taman Mini Jakarta.
Untuk rakyat Aceh nama Seulawah
bukan hal sampingan, melainkan suatu simbol penting dan bukti
pengorbanan rakyat Aceh untuk kemerdekaan Indonesia, yang begitu lama
menunjukkan kesetiaannya terhadap persatuan nasional. Para pemuka Aceh
sampai sekarang masih ingat akan janji Sukarno
bulan juni 1948 dulu, dimana Sukarno telah menyetujui akan pengesahan
syariat Islam untuk Aceh, janji yang dikemudian hari dilupakannya.
„Khianat Sukarno“ itu yang memungkiri
jasa rakyat Aceh dalam perjuangan kemerdekaan nasional melawan serangan
Belanda, apa lagi dengan tidak diakuinya status Aceh sebagai propinsi
ditahun 1953 itu yang kemudian menjadi latar belakang keinginan gerakan
separatis di Aceh yang kemudian mengakibatkan berdirinya gerakan
kemerdekaan GAM ditahun 1967, perang saudara yg berdarah ini baru dapat
berakhir paska Tsunami tahun 2005. Selain itu memang banyak
alasan-alasan yang penting dan nyata: Pemerintah pusat Jakarta telah
menyatakan daerah Aceh yang kaya menjadi daerah miskin, masyarakat
Aceh merasa dihina dan dilukai perasaannya sehingga mendorong
putera-putera Aceh untuk berontak.
Sekarang ini Aceh NAD sebagai propinsi
Republik Indonesia yg memiliki otonomi istimewa , sampai hari ini
masih menderita akibat musibah tsunami 2004. Bantuan internasional yang
besar telah membuat Aceh yang terisolir, akibat perang saudara,
kembali terbuka untuk dunia luar. Tetapi untuk melakukan kedaulatan
otonominya, Aceh menetapkan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku di
daerahnya. Teriring oleh harapan besar untuk kemajuan moril, syariat
menimbulkan dimasyarakat dalam kehidupan sehari-hari masalah2 yang
tidak terduga. Tetapi hal-hal seperti itu Seulawah dan Om Carl tak perlu memikirkan lagi – Alhamdulillah!
K.S. 20-01-2011
dalam bahasa Jerman dapat dibaca disini.