Inilah Laksamana Pertama Perempuan Dunia
Laksamana Keumala Hayati |
Keumalahayati,
Namanya mudah ditemukan di literatur Barat maupun China. Di Indonesia,
dia memang tidak sepopuler Cut Nyak Dien, namun oleh peneliti barat,
Malahayati disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilonia dan
Katherina II, Kaisar Rusia.
Nama
aslinya adalah Keumala Hayati, hidup di masa Kerajaan (Kesultanan)
Atjeh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang
memerintah antara tahun 1589-1604 M. Malahayati pada awalnya adalah
dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana.
Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya “menghajar” kapal
perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang
terkenal kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati
pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September
1599.
Tidak
di Pungkiri memang, Aceh adalah pintu gerbang bagi Indonesia karena
memiliki kedudukan geografis yang sangat strategis di wilayah Indonesia
bagian Barat sejak dulu. Karena posisinya ini, Aceh didatangi banyak
bangsa asing dengan bermacam-macam kepentingan mulai dan kepentingan
ekonomi, perdagangan, diplomasi politik sampai penyiaran budaya dan
agama.
Di satu sisi
kedatangan mereka membawa dampak positif bagi kepentingan ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Namun di sisi lain, sebagian dan mereka
melakukan tindakan jahat yang dimotivasi kolonialisme dan imperialisme
baik di Aceh sendiri maupun wilayah-wilayah sekitarnya. Sebagai reaksi
dari tindakan pihak asing yang merugikan, pihak Aceh melakukan
perlawanan dalam rangka mempertahankan harkat dan martabatnya.
Bangsa
asing yang pertama kali datang ke Aceh dan wilayah sekitarnya dengan
melakukan tindakan negatif adalah Portugis pada abad XVI. Portugis
merebut kota Malaka dan tangan-tangan orang Islam pada tahun 1511. Di
samping itu, Portugis juga melakukan intervensi ke kerajaan-kerajaan di
sekitar Malaka. Tindakan Portugis yang semena-mena ini memancing konflik
dengan Aceh yang pada saat itu telah tumbuh berkembang menjadi kerajaan
yang besar dan mengganti peran Malaka yang telah ditundukkan Portugis.
Dengan
mempertimbangkan posisinya yang semakin kuat, Aceh mencoba membebaskan
kawasan selat Malaka dan anasir asing yang akan merugikan kepentingan
ekonomi dan politik kawasan ini. Aceh melakukan perlawanan terhadap
Portugis karena Portugis dinilai menjadi agressor dan merusak
keharmonisan yang telah berlangsung berabad-abad di kawasan selat
Malaka.
Konflik
Aceh dengan Portugis berlangsung lama sekali mulai dan abad XVI sampai
abad XVII. Dalam suasana konflik ini muncullah pejuang dan tokoh penting
yang memperjuangkan kepentingan masing-masing pihak. Di pihak Aceh,
Laksamana Keumalahayati (Malahayati atau Hayati) adalah salah satu
pejuang yang mempertahankan harkat dan martabat bangsanya melawan
Portugis pada masanya.
Keumalahayati
diberi gelar laksamana (admiral) karena jasanya dalam mengawal
kepentingan Aceh di lautan di masa pemerintahan Sultan Alaiddin
Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) atau yang sening disebut Sultan Al
Mukammil. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di
Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang
kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal
berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh,
Armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati.
Sebelum
diangkat menjadi laksamana, Keumatahayati meniti karir sebagai komandan
pasukan wanita dengan tugas sebagai pengawal istana sekaligus intelijen
kerajaan dan tugas ini dijalankan dengan sukses. Karena keberhasilannya
ini Sultan mempercayainya untuk mengemban tugas memimpin pasukan
angkatan taut dengan pangkat laksamana.
Tugas
sebagai panglima angkatan laut bagi Keumalahayati bukan hal yang asing
karena ayahnya sendiri, yang bernama Mahmud Syah, adalah seorang
Laksamana. Demikian juga kakeknya. Muhammad Said Syah putera Sultan
Salahuddin Syah yang memerintah pada tahun 1530-1539 M, adalah seorang
laksamana laut yang gagah perkasa. Sultan Salahuddin Syah adalah putera
Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerjaan Aceh
Darussalam.
Laksamana
Keumalahayati memegang peranan penting di Aceh Darussalam pada masa
Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammil yang memerintah mulai
tahun 1589 sampai 1604 M. Sayid Mukammil diangkat menjadi Sultan dalam
usia lanjut dan mempunyai banyak pengalaman karena sebelum diangkat
menjadi Sultan. Sayid Mukammil pernah menjalani banyak profesi mulai dan
menjadi nelayan, peternak, pengasuh putera raja, dan panglima perang
dengan gelar laksamana.
Menurut
sebagian keterangan, Sultan Sayid Mukammil lebih percaya pada wanita
dalam pengamanan kerajaan. Untuk mengawal istana, Ia merekrut 40
perempuan yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati. Alasan dipilihnya
Keumalahayati adalah karena ia seorang perempuan yang bijak, tangkas,
dan berakhlak mulia. Di samping menjadi kepala pasukan pengamanan
istana, Ia juga diangkat menjadi penasihat kerajaan sementara jabatan
ketua dinas rahasia (secret servicer geheimraad) diserahkan kepada Cut
Limpah.
John
Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda di sebuah kapal Belanda
yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi Laksamana.
melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada
laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang
berkapasitas 400 - 500 penumpang. Masa itu Kerajaan Aceh memiliki
angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada
pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di
daerah-daerah kekuasaan Aceh diberbagai tempat.
Pada
saat Keumalahayati menjadi Laksamana, komoditas ekonomi yang dihasilkan
bumi dan laut Aceh dan daerah-daerah Semenanjung Melayu sangat melimpah
ruah sehingga banyak digemari bangsa Barat seperti Belanda, Portugis,
dan Inggris. Di antara komoditas andalan Aceh adalah lada dan
rempah-rempah. Aceh sebenarnya terbuka untuk bekerja sama dengan mereka,
tetapi sayang bangsa-bangsa Barat rakus dan ingin menguasai komoditas
yang bukan hak mereka dengan berbagai cara mulai dan trik halus seperti
membuat perjanjian dagang sampai yang paling kasar menyerang Aceh.
Pada
saat itu, Aceh telah menggunakan uang resmi yang digunakan sebagai alat
tukar dalam perdagangan antar bangsa. Mata uang yang berbedar saat itu
adalah ringgit dan dirham Aceh, rial cap meriam Portugis, ringgit cap
matahari Jepang dan ringgit cap tongkat lnggeris. Uang yang diterbitkan
Aceh terbuat dari tembaga, perak dan emas. Untuk menerbitkan uang ini,
Aceh secara khusus mengundang ahli emas dan India dan ditempatkan di
Kampung Pandee.
Namun
demikian, dengan keahilan militer dan diplomasinya, Laksamana
Keumalahayati mampu menyelamatkan Aceh dari jebakan yang telah disiapkan
bangsa kolonialis Barat sehingga semua aset ekonomi, politik, dan
pertahanan Aceh bisa tetap dipertahankan. Hal ini karena ia tidak
terjebak oleh kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri ataupun
godaan kekuasaan menjadi penguasa Aceh walaupun Ia memiliki banyak
kesempatan untuk melakukan itu.
Pada
tanggal 21 Juni 1599 saudagar Belanda datang di Aceh, mereka
menggunakan kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Dua kapal itu di bawah
kendali dua orang bersaudara yakni Cornelic De Houtman dan Frederick De
Houtman. Setibanya di Aceh, keduanya disambut dengan baik oleh Sultan di
istana. Kedatangan dua orang bersaudara ini berhasil memikat Sultan
sehingga Belanda diizinkan untuk melakukan perdagangan dengan Aceh
sekaligus diizinkan untuk membuka kantor dagang di Aceh.
Kerjasama
ini dimanfaatkan Aceh untuk menyewa kapal-kapal Belanda yang akan
digunakan untuk mengangkut pasukan ke Johor. Perjanjian sewa kapal itu
ditandatangani tanggal 30 Juli 1599 dan direncanakan berangkat pada
tanggal 11 September 1599. Namun sayang, menjelang keberangkatan pasukan
Aceh ke Johor, pihak Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan kapten
kapal yang bernama J. Van. Hamskerek pun melarang pasukan Aceh naik ke
atas kapal. Aceh tidak terima dengan perlakuan itu. Sebagian pasukan
Aceh yang telah berada di atas kapal langsung marah dan mengamuk ketika
Belanda menembaki beberapa pembesar Aceh yang masih berada di atas
sampan termasuk kerabat sultan dan korban dan kedua belah pihak pun
tidak bisa dihindari.
Pertempuran
antara pasukan Aceh dan Belanda di laut dilaporkan ke Sultan dan
didengar Keumalahayati yang saat itu menjadi Panglima Pengawal lstana.
Saat itu juga, Keumalahayati memberi komando pasukannya untuk berkumpul
dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda. Di darat pun terjadi
tembak-menembak antara pasukan Belanda dan anak buah Keumalahayati.
Dalam waktu singkat pasukan Keumalahayati berhasil membuat pasukan
Belanda menyerah setelah sebagian besar tewas di tangan anak buah
Keumalahayati.
Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman sendiri Tewas ditangan Laksamana Malahayati dan beberapa anak buahnya juga terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ketahanan Kerajaan Aceh. Namun ketika mereka hendak membakar kantor dan gudang Belanda, Sultan melarang dan atas komandan Keumalahayati rencana untuk membakar gedung itu batal dilakukan demi mentaati perintah Sultan.
Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman sendiri Tewas ditangan Laksamana Malahayati dan beberapa anak buahnya juga terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ketahanan Kerajaan Aceh. Namun ketika mereka hendak membakar kantor dan gudang Belanda, Sultan melarang dan atas komandan Keumalahayati rencana untuk membakar gedung itu batal dilakukan demi mentaati perintah Sultan.
Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amsterdam menjatuhkan hukuman denda kepada Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh. Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.
Selesai
menyelesaikan urusan di darat, Keumalahayati memerintahkan pasukannya
bergerak ke laut mengejar Belanda. Dengan armada sampan dan perahu kecil
mereka mengejar kapal Belanda yang ukurannya lebih besar. Untuk
mempercepat laju kapalnya, Belanda membuang sauh agar kapal cepat melaju
di laut dan bebas bergerak menghindari kejaran pasukan Keumalahayati
menuju pulau Ceylon. Namun keduanya dapat dikejar dan akhirnya ditahan
di Aceh.
Keberanian
Keumalahayati membuahkan hasil. Ia dianugrahi gelar Laksamana karena
keberhasilannya menyerang benteng dan pergudangan Belanda, mengejar dan
menangkap Belanda. Gelar Laksamana semakin memicu perjuangan
Keumalahayati melawan Belanda. Atas inisiatifnya, Ia mengusulkan agar
dibentuk pasukan elite yang terdiri atas para janda yang suaminya gugur
dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka termasuk suaminya sendiri.
Pasukan elite khusus ini diberi nama dengan Angkatan Inong Bale dan
bermarkas di Kuta Inong Bale (Banteng Wanita Janda).
Laksamana
Keumalahayati tidak hanya lihai memimpin pasukan, tetapi juga pandai
berdiplomasi. Ketika tiga kapal lnggris merapat di pantai Aceh sementara
pada saat yang sama Sultan Alauddin Riayat Syah sedang melaksanakan
arak-arakan ulang tahunnya yang diselenggarakan sekali setahun.
Kedatangan kapal Inggris diketahui Sultan dan Sultan sendiri memaklumi
kedatangan Inggris karena menurut sultan kerajaan Inggris yang saat itu
dipimpin oleh seorang perempuan, yakni Ratu Elizabet tidak berlawanan
dengan Aceh. Untuk itu, sultan memerintahkan Laksamana Keumalahayati
untuk menyambut kedatangan orang-orang Inggris yang dipimpin oleh Sir
James Lancaster.
Ketika
menyambut utusan Inggris. Laksamana Keumalahayati melaksanakan semua
instruksi sultan dalam rangka penyambutan utusan Inggris yang pada saat
itu sedang bermusuhan dengan Portugis. Ini dilakukan karena Laksamana
Keumalahayati berpendapat bahwa bersahabat dengan Inggris Aceh akan
mempunyai kekuatan dan bergaining yang lebih tinggi sehingga bisa
dimanfaatkan untuk menghadapi Portugis.
Namun
demikian, sebelum acara penyambutan dilakukan, ia mengusulkan kepada
Sultan agar motif kedatangan Inggris di Aceh diselidiki lebih dulu.
Mengikuti saran Laksamana Keumalahayati, Sultan menyuruh Belanda yang
pada saat itu markasnya tidak jauh dan masjid raya untuk menemui dan
menanyakan maksud kedatangan Inggris. Penyelidikan harus dilakukan
karena Aceh harus mempunyai pendirian yang kuat dan menentukan dirinya
sendiri tanpa paksaaan dan pihak manapun terutama anasir asing karena
Aceh adalah bangsa yang berdaulat atas wilayahnya baik di darat maupun
di laut.
Sir
James Lancaster dan para pengiringnya disambut dengan jamuan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah pada malam hari. Turut menghadiri jamuan
malam itu adalah dua orang Belanda yang diperintahkan Sultan untuk
menyelidiki maksud kedatangan sementara Sultan Alauddin Riayat Syah
sendiri didampingi tiga puluh enam orang pembesar Aceh. Jamuan malam itu
diisi dengan acara perkenalan dan ramah tamah serta pertunjukkan
tari-tarian khas Aceh.
Setelah
jamuan selesai, acara dilanjutkan dengan acara perundingan dan tamu
yang lain meninggalkan ruangan balai istana kecuali Sultan,
Keumalahayati, utusan dan Inggris dan dua orang Belanda.
Sultan
Sayid Mukammil membuka surat dan Ratu Elizabeth yang dibawa oleh
rombongan dan Inggris dan perjanjian bilateral tentang jual beli emas
dan lada pun ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan perjanjian
tersebut ditandatangani setelah Inggris berjanji memberi kompensasi akan
mengusir Portugis dan perairan Aceh.
Selama
di Aceh, Laksamana Keumalahayati memberikan perlindungan penuh bagi
utusan Inggris yang dipimpin oleh Sir Lancaster. Ini dibuktikan dengan
kedatangan Laksamana Keumalahayati di tempat penginapan Sir Lancaster
pada sore hari setelah pagi harinya didatangi seorang utusan yang
menyampaikan surat khusus dan Sultan Sayid Mukammil.
Kedatangan
Laksamana Keumalahayati ke penginapan Sir Lancaster yang juga ditempati
dua orang Belanda itu untuk memberi tanda mata berupa zamrud.
Di
samping itu, Laksamana Keumalahayati juga membawa kabar penting tentang
kedatangan 20 armada Portugis di Malaka dan akan ke perairan Aceh.
Perempuan pemberani ini memberi saran kepada utusan Ratu Elizabeth agar
segera meninggalkan Aceh untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Lancaster ingin tetap bertahan di Aceh namun Laksamana
Keumalahayati meyakinkan bahwa Portugis akan menimbulkan bencana jika
Lancaster tetap di Aceh karena Portugis juga mengincar perdagangan
dengan Aceh terutama lada namun belum mendapatkan izin dan Sultan Sayid
Mukammil. Bila Lancaster mau meninggalkan Aceh saat itu, Laksamana
Keumalahayati berjanji akan menahan Portugis di perairan Aceh selama 10
hari agar tidak bisa mengejar utusan Ratu Elizabeth itu.
Setelah
mendapat jaminan keamanan Laksamana Keumalahayati akhirnya Lancaster
bersama rombongan meninggalkan Aceh pada malam itu juga untuk segera
kembali ke Inggris. Keberhasilan menempuh jalan damai ini membuat James
Lancaster dianugerahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Peristiwa
penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksamana adalah ketika ia
mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoel Hamid, Sri Muhammad dan
Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah
kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda.
Kiprah
Malahayati makin mengukuhkan bahwa peran wanita tidak bisa
dikesampingkan. Wanita sesungguhnya memiliki kekuatan yang tak kalah
dengan pria. Namun memang, implementasinya memang tidak bisa seperti
zaman penjajahan dulu. Di zaman sekarang, kekuatan wanita ditunjukkan
melalui perannya dalam masyarakat, terutama dalam menjalankan karir
maupun usahanya. Wanita kini tak lagi hanya berkutat di dapur, sumur dan
kasur, tetapi bisa menunjukkan performa terbaik di dalam pekerjaannya
tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai istri sekaligus ibu.
No comments:
Post a Comment